Tuesday, November 13, 2012

0

Andai Aku Di Ujung Tombak Pemberantas Korupsi Negeri

Posted in
Pesimis, egois, dan apatis menjadi satu dalam lingkaran eksklusif. Sebuah ironi memandang budaya warisan penjajah yang menggerogoti negeri ini. Negeri yang seharusnya membiayai siapa saja yang tinggal diatasnya, namun gara-gara istilah "Korupsi" menjadi negeri tanpa masa depan bagi setiap orang yang tidur diatasnya. Aku tahu, bahwa korupsi ini sudah mendarah daging dalam setiap elemen di negeri, sisi politik, sisi hukum, dan sisi bisnis menjadi inang abadinya. Kasus Jaksa Agung Andi Ghalib adalah simbol kebobrokan hukum sehingga korupsi merajalela dan karena itu semua cabang pemerintah sudah dikuasai oleh pencuri. Dunia bisnis pun masih banyak yang meghalalkan segala cara untuk mendapatkan kontrak-kontrak atau fasilitas pemerintah. Korupsi pasca reformasi menyebar kemana-mana. Alokasi dana desa pun tak luput dari korupsi. Ini dapat menjadi sebuah indikator bahwa kebijakan pemberantasan korupsi pemerintah negeri ini belum efektif. Tanpa Aku sadari, setiap hari aku dicekoki budaya konsumerisme melalui berbagai media. Para elite bangsa ini juga doyan mempertontonkan gaya hidup mewah mereka di tengah kesulitan masyarakatnya. Kesuksesan seseorang sekarang diukur dari keberhasilan ekonominya.
Namun, dalam hal lain, mungkin semua orang di sini tidak merasa aman kalau tidak memiliki kepemilikan pribadi. Transportasi umum buruk, pendidikan dan kesehatan mahal, dan seterusnya. Negara tidak hadir dalam memberikan jaminan sosial bagi rakyatnya. Di Indonesia aku belum melihat ada pemimpin yang punya komitmen kuat untuk menyejahterahkan masyarakat dan melihat korupsi sebagai faktor utama penghambat. Melwan korupsi adalah pekerjaan tanpa akhir dan bukan perkara mudah untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Kasus korupsi akan sering beterbaran di tengah kebebasan media. Aku senang ketika mulai bermunculnya gerakan masyarakat antikorupsi terutama pemuda yang ikut ambil peran dalam hal ini. Gerakan masyarakat antikorupsi terus tumbuh dimana-mana. Media terus gencar membongkar kasus-kasus korupsi. Hanya, sayangnya, para pemberantas koruptor ini tidak punya mitra politik dan aparat hukum tidak mendukung. Dan pemberantasan harus fokus pada babon korupsi, seperti sektor hukum, politik, dan bisnis. Saat ini, gerakan antikorupsi di masyarakat lebih banyak dalam bentuk watch dog, tetapi belum menjadi gerakan semua orang di setiap sektor sehingga belum begitu berpengaruh. Bisa dibayangkan, tanpa perlindungan masyarakat antikorupsi, mungkin KPK sudah lama dihancurkan olah jaringan mafia prokorupsi. Jika berkesempatan menjadi ujung tombak pemberantas korupsi negeri ini, aku akan memulai dari hal yang paling sederhana dimulai dari lingkungan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti menerapkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada dorongan ekonomi untuk korupsi. Menanamkan budaya kerja keras, bersikap adil, dan empati terhadap sesama yang merupakan fondasi penting untuk tidak mengambil hak orang lain. Serta menerapkan nilai-nilai agama yang dianut. Melawan korupsi adalah tugas bersama sebagai warga negara. Tahap selanjutnya yaitu belajar dari banyak negara yang bersih, seperti Scandinavia. Semakin berkualitas demokrasi, semakin kecil peluang untuk korupsi. Mengusulkan kepada kementerian pendidikan untuk menambah kurikulum dan mata pelajaran antikorupsi sejak dini. Memaksimalkan peran pemuda bersumbangsih dalam pemberantasan korupsi, apapun bentuknya, seperti menciptakan karya seni, musik, komik, dan game yang mudah diterima olah kalangan remaja. Mengusulkan reformasi kebijakan ekonomi, rule of law, penyederhanaan birokrasi, media yang bebas dan pertisipasi masyarakat berdasarkan penelitian punya dampak besar tehadap menurunnya koupsi di negara yang keadaan governance-nya buruk seperti Indonesia. Ikut menyeleksi berdasarkan track record dan mengusulkan kandidat kepada Presiden, yang kemudian Presiden mengangkatnya sebagai menteri, jaksa agung, dan kepala Polri yang jujur. Begitu pula dengan mereka yang menduduki jabatan strategis di dalam pemerintahan. Dengan begitu, aku tidak bekerja sendirian melaikan bersama-sama dalam satu tim kerja yang kuat untuk melakukan perubahan kebijakan, birokrasi, dan hukum yang rentan terhadap penyimpangan. Karena pemerintahan yang modern adalah yang memprioritaskan anggarannya untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan penguatan daya beli rakyat. Yang terjadi saat ini, pemerintah masih tradisional, anggaran negara dan sumber daya ekonomi habis untuk biaya birokrasi dan politik, hanya dinikmat segelintir orang saja.

Tulisan ini dibuat untuk secuil kontribusiku, lihat :
http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/671/Ahadin%20Syarifudin%20Fahmi.html

0 komentar: