Naluri Sosial Etnofotografi di Bayang Sang Guru
Posted in Celotehan
Perjalanan jauh, keluar masuk hutan
mencari keberadaan sekelompok anak manusia, perbekalan buku dan alat
penunjang lainnya, dan anggaran yang besar pula, bayangan itu yang
muncul ketika kita pertama mendengar istilah etnofotografi. Sosok ini
hanya ingin mendapatkan gambar-gambar super indah yang akan ia unduh
pada masa depan anak didiknya. Benar saja, bayangan itu seolah
dipertegas bersamaan dengan hadirnya sosok-sosok sang pencerah
lainnya di lingkungan sekolah MBI Amanatul Ummah Mojokerto,
yaitu setengah lusin guru. Mereka rela diantar jemput Surabaya – Mojokerto dengan jarak tempuh minimal enam puluh menit.
Tak ada yang tak kita akui dalam hal “keluarbiasaan” dari
semangat dan pengabdiannya yang selama ini kita saksikan melalui cara
penggajarannya. Luar biasa hebatnya, luar biasa lakunya, luar biasa
ilmunya, dan luar biasa-luar biasa lain kita dapati dari hampir
setiap kerendahan hatinya.
Ada harapan bagi bangsa yang diemban
oleh sosok ini, generasi muda hendaknya meneladani ketulusannya.
Semua pengetahuan dan ilmu secara ikhlas mereka tularkan. Walaupun raga sudah mulai menua, mereka merupakan anak muda di
dalam jiwanya. Anak muda yang tak kenal menyerah , selalu sigap
menjawab tantangan di depan mata. Ya, mereka adalah anak muda yang
dibebani penugasan tidak mudah dan padat kesulitan. Tapi tantangan
paling sulit pun telah mereka lampaui bersama sebagai pemuda bangsa
dan akan terus dibuktikan bahwa anak-anak muda bisa selesaikan
tantangan berat lain. Mereka disini seakan merajut sebuah tali
regenerasi bangsa, mereka menaruh harapan serta kepercayaan akan masa depan bangsanya. Perilaku ini mencerminan sebagai mahkluk sosial, yang membutuhkan satu sama lain. Dorongan sosialitas manusia bukan semata-mata mengedepankan dorongan hewani (animal instict), melainkan sebagai mahkluk budaya (culture instict) yang memiliki potensi membangun apa yang disebut sebagai budaya. Dengan demikian manusia tidak berevolusi hanya secara biologis, melainkan berevolusi secara kultural yang berisi kategori-kategori moral, tanggungjawab, altruisme dan kerja sama sadar dalam membangun negeri. Altruisme merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini juga sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan altruisme adalah egoisme. Altruisme memusatkan perhatian untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral individu tertentu seperti Tuhan, organisasi khusus seperti pemerintah, atau konsep abstrak seperti patriotisme. Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus sebagai suatu kewajiban. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Tanda ini bisa kita sematkan kepada guru-guru di seluruh penjuru negeri tanpa terkecuali. Masyarakat awam menyebutnya sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Sepertinya hanya merekalah yang patut kita contoh, bagaimana tidak mereka telah mengamalkan salah satu janji negeri ini melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang setiap hari senin dibacakan dan direnungi. Mereka ikut memberi sumbangsih agar visi negeri ini tercapai. Melalui pekerjaan sebagai seorang guru ini bersama-sama merealisasikan visi yang sungguh mulia di negeri ini dan dapat di adopsi melalui keterlibatan aktif di masyarakat, melalui perusahaan atau organisasi di mana kita sedang bekerja. Tentu kita berusaha merealisasikan visi tadi bukan semata-mata karena kita hidup di republik ini. Ini bukan hanya karena kita adalah bangsa Indonesia. Tetapi, sebagai insan yang hidup di negeri ini, kita di beri tanggungjawab untuk memikirkan kebaikan negeri di mana kita tinggal. Kita di beri tugas untuk memelihara negeri ini dari kerusakan dan berusaha untuk terus memperbaiki dan memajukannya. Karena negeri yang adil dan makmur tidak mungkin dicapai oleh sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat, apalagi profesi guru. Itu hanya bisa dicapai secara bersama-sama oleh putra-putri negeri ini. Kita ditantang untuk memiliki kesadaran bahwa hidup bukan untuk diri, suku atau kelompok tertentu. Kita di sini hidup bersama dan sedapat mungkin berguna bagi masyarakat sekalipun latar belakang suku, ras atau agama berbeda. Tidak kebetulan kita tinggal di republik ini. Apa yang sudah kita lakukan untuk republik ini, atau malah memeras negeri ini? Kita sendiri yang menentukan.
0 komentar: