Bodhisattva Jantaka
Posted in Akademi Berbagi
Tanpa kenal lelah burung pipit itu terbang ke telaga, membasahi tubuhnya, lalu menuju lokasi kebakaran dan mengibaskan tubuhnya untuk memadamkan hutan yang dilalap api. Berulang kali hingga akhirnya ia mati lemas.
Itu sepenggal kisah Jantaka yang menceritakan perjalanan titisan Bodhisattva beralih rupa menjadi burung pada salah satu panel relief Candi Borobudur. Kisah itulah yang menginspirasi Komunitas Literasi Media tempat Ruth Mei Ulina Malau menjadi salah satu sukarelawannya.
Nama Jantaka yang berasal dari bahasa Sansekerta ini juga diadopsi menjadi nama komunitas yang digagas Retno Manuhoro, seorang pegiat pendidikan sebagai bentuk kepedulian terhadap perkembangan generasi muda menghadapi terpaan media massa khususnya televisi. Anak-anak yang dulunya ceria menikmati masa kecilnya dengan berbagai permainan motorik sekarang beralih jalur menjadi penikmat televisi yang menjadikan mereka pasif. Lihat saja mereka, setelah pulang sekolah tanpa lepas atau ganti baju, mereka menikmati tontonan televisi layaknya pengamat media atau Komisi Penyiaran Indonesia yang terus-menerus memantau setiap gerak dan langkah apa-apa yang disuguhkan oleh kotak kaca tersebut. Hal ini yang mengisnpirasi pemudi-pemudi Kabupaten Semarang untuk bertindak cepat tanpa menunggu teguran dari pemerintah, bagi mereka perkembangan globalisasi memang tak dapat dibendung tetapi bisa di pangkas untuk sisi-sisi merugikannya, salah satunya dampak media televisi untuk perkembangan anak-anak. Konsep simple tapi berdampak besar yang mereka usung ialah diet televisi, dan menggantikannya dengan membaca buku atau beraktifitas fisik di luar rumah. Lewat komunitas Jantaka ini mereka mengkampanyekan kepada lingkungan sekitar, blusukan ke desa-desa dengan target sasarannya yaitu para orang tua. Mereka melakukan ini karena mereka prihatin kareana sampai saat ini tidak ada atau belum adanya kurikulum literasi media kepada anak-anak, yang padahal sudah adanya kurikulum anti korupsi.
Untuk bicara literasi media yaitu seperti ini :
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Literasi media muncul dan mulai sering dibicarakan karena media seringkali dianggap sumber kebenaran, dan pada sisi lain, tidak banyak yang tahu bahwa media memiliki kekuasaan secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna yang akan dilempar ke publik. Karena pekerja media bebas untuk merekonstruksikan fakta keras dalam konteks untuk kepentingan publik (pro bono publico) dan merupakan bagian dalam kebebasan pers (freedom of the press) tanggung jawab atas suatu hasil rekonstruksi fakta adalah berada pada tangan jurnalis, yang seharusnya netral dan tidak dipengaruhi oleh emosi dan pendapatnya akan narasumber, dan bukan pada narasumber.
Jantaka risih dan tak mau tinggal diam akan hal ini, literasi media sangat berguna bagi kehidupan di lingkungan mereka. Bayangkan saja ada suatu daerah di balik gunung di Kabupaten Semarang yang setiap rumahnya dipasangi antena-antena parabola, harga sebungkus nasi uduk untuk bayaran setiap harinya mereka relakan hanya untuk bisa menikmati acara televisi. Namun, karena ini TV kabel, tidak ada filtering yang diterapkan, anak-anak bisa bebas menikmati segala acara televisi yang ada, mulai dari channel Cartoon Network, BBC, Discovery Channel, Paris Fashion Mode hingga Adult Movie. Yang disayangkan disini ialah dampak yang diberikan setelah anak-anak menonton tayangan televisi yang bukan pada porsinya. Sehingga akan mempengaruhi karakternya di masa yang akan datang. Jantaka mengambil peran sosial untuk hal yang satu ini dengan tagline literasi media. Aktivitasnya tak hanya memberikan pemahaman literasi media tapi juga mengumpulkan buku-buku untuk di alokasikan ke desa atau taman bacaan. Mereka menyosialisasikannya lewat jejaring sosial dan blog hingga cara konvensional getok tular untuk mempromosikan Jantaka kepada orang lain.
"Tujuannya, agar mereka juga punya kompetensi, nggak sekadar terima isi media mentah-mentah. Penginnya sih, anak-anak lebih rajin dan gemar membaca buku daripada menonton televisi."
Nah selaih Jantaka, di Akademi Berbagi ini turut dihadirkan pula satu kelompok yang serupa, namanya "Rumah Uplik" yang diprakarsai oleh Kang Wal. Kalau yang tadi digerakkan oleh ibu-ibu, sekarang ada sosok adam yang turut berkontribusi dalam perbaikan lingkungannya. Suasana Akademi Berbagi sangat seru, dimana para inspirator-inspirator muda ini tidak tinggal diam, melainkan take action yang lebih mereka pilih untuk mengubah lingkungannya. Meskipun mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing tetapi mereka lebih semangat untuk bermain dengan anak-anak mereka. Anak-anak yang harus ditolong dari gempuran media yang tak ada filternya ini.
So, kalau kamu pengen mendapatkan inspirasi-inspirasi dari lingkungan sekitarmu, mari merapat di kelas terbuka Akademi Berbagi Semarang yang setiap minggunya akan diisi oleh pemuda-pemudi penggerak perubahan. Banyak hal bermanfaat yang bisa kita dapatkan dari kelas Akber ini, mulai dari ilmu, tambah teman atau bisa bertemu dengan para idola kita, seperti halnya sang penulis yang bertemu dengan idolanya sendiri. Bertemu dengan fotografer kontributor National Geographic ASIA dan UNICEF ditempat yang sederhana pula. Thanks Akber.
0 komentar: